SIEM 2008, Oase bagi Warga Solo
Penulis : | Jumat, 31 Oktober 2008 | 23:44 WIB
SOLO, JUMAT--Penyelenggaraan festival Solo International Ethnic Music atau SIEM 2008, yang mengambil tempat di Pamedan Pura Mangkunegaran, Solo, 28 Oktober - 1 November, seperti oase yang mendapat animo dan apresiasi besar dari warga masyarakat.
Mereka mendapat suguhan tontonan gratis, tetapi berkualitas sekaligus bergengsi internasional mengingat kemasan tata panggung maupun suara yang profesional dan spektakuler.
Dibuka pada Selasa (28/10) malam, yang diawali dengan hujan lumayan deras, dengan lagu Padamu Negeri yang dipimpin penyanyi jazz Syaharani, hingga hari kedua Rabu malam jumlah penonton mencapai sekitar 10.000 orang. Sebagian mendapat tempat duduk yang tiketnya bisa diperoleh secara gratis, tetapi sebagian besar yang lain rela duduk lesehan di rumput. Penontonnya pun beragam, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.
Rabu malam, tampil kelompok Margasari pimpinan Shin Nakagawa (Jepang) yang menampilkan komposisi musik yang diberi "ilustrasi" teater dengan tema cerita Momotaro, jenis dongeng rakyat Jepang. Shin mengusung musik gamelan yang mula-mula ditabuh secara konvensional, lalu di separuh bagian lagi ditabuh secara kontemporer.
Dilanjutkan dengan Al Suwardi dan kelompoknya yang mengetengahkan orkestrasi "gamelan" baru penemuannya yang terbuat dari genta atau kelontong berbagai ukuran dan bentuk, baik yang ditabuh maupun dikocok, diimbuh dengan jajaran kawat, baik yang ditancapkan maupun diurai di dinding. Semua ditabuh dengan nada-nada yang dilaras secara khusus, komposisi Nunggak Semi, terasa unik dan mengesankan.
Suguhan kelompok Lumaras Budoyo dari lereng Gunung Merbabu terasa memukau. Sekitar 50 peraga yang mengenakan rumbai-rumbai dari bulu ayam yang megah ciptaan sendiri, kesenian rakyat ini selain menonjolkan eksotisme juga musik yang memadukan gebukan tambur dan terbang, serta suara kerincing yang riuh. Komposisinya Gelung Gunung dan Kerincing Merbabu.
Syaharani tampil dengan musik crossover yang menyilangkan musik jazz, rock, dengan ornamen musik etnik, lewat lagu Teater dan Sunyaruri yang diambil dari album terakhirnya, Magma. Penampilan lain semalam adalah kelompok Yi Chen Chang dari Taiwan dan kelompok Kahanan di bawah pimpinan Innisisri (Yogyakarta). Definisi musik etnik
Dalam lokakarya mengiringi penyelenggaraan festival SIEM 2008, kemarin diselenggarakan lokakarya dan diskusi bagi peserta festival serta kalangan peminat, bertempat di Prangwedanan Mangkunegaran. Dari lokakarya terungkap bahwa untuk mendefinisikan musik etnik tradisi dalam konteks Indonesia ternyata tidak mudah. Ini mengingat pada kenyataannya perkembangan seni tradisi di Indonesia cukup dinamis dan mudah sekali terjadi akulturasi.
"Musik etnik di Indonesia baru di tingkat jari. Kalau jarinya memukul kendang, dibilang etnik karena memainkan alat musik Jawa. Jadi, wacana musik etnik di Indonesia masih di permukaan," ungkap Sutanto Mendut, seniman asal Magelang.
Kondisi itu, menurut Sutanto, merupakan kebuntuan pemerintah dalam membangun Indonesia yang multikultur. Ide itu ikut diamini dua pembicara lainnya, yakni Endo Suanda dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara Jakarta, dan Direktur Pelayanan Media dan Informasi Departemen Luar Negeri Soehardjono Sastromihardjo.
Menurut Endo, keragaman dan mudahnya terjadi akulturasi antaretnik di Indonesia itu jelas tampak pada alat-alat musik yang digunakan pada kesenian lokal. "Gambang Kromong, contohnya, tak satu pun alat musiknya menggunakan alat musik asli Betawi. Teh Yan dari China, kendangnya dari Sunda, syair yang dilantunkan pun syair Melayu," katanya.
Menurut Soehardjono, kekayaan etnik yang dimiliki Indonesia menjadi modal besar dalam hubungan diplomasi antarnegara. Hanya dengan pendekatan budaya, seperti yang dilakukan Indonesia saat ini lewat soft power diplomacy, hubungan antarnegara dengan Indonesia dapat berjalan lebih baik.
SEdangkan SIEM yg tahun ini di ganti namanya menjadi :di bawah ini
Festival Musik Kereta Kencana Dibuka
Achmad Khalik - Timlo.net
Rabu, 4 Juli 2012 | 22:15 WIB
Dok.Timlo.net/ Achmad Khalik
KWF Diobyuka di PG Colomadu, Rabu (4/7) malam.
Karanganyar-Pembukaan Keretakencana Worldmusic Festival (KWF) pertama yang diadakan di eks Pabrik Gula (PG) Colomadu, Karanganyar berlangsung meriah. Ribuan penonton memadati bangku yang disediakan panitia, Rabu (4/7) malam.
Dengan tata cahaya yang gemerlap, suara yang menggelegar, dan tata panggung yang megah, Alex Komang selaku Ketua Swara Kita Foundation membuka gelaran KWF dengan memaparkan tentang komunitas budaya dengan didampingi oleh Rizaldi Siagian selaku kurator KWF.
Gong serta kentongan yang merupakan simbol dari KWF dipukul secara bersamaan oleh anak-anak kecil dari KM7 dengan melibatkan kolaborasi dari beberapa delegasi sebagai tanda dibukanya gelaran KWF.
Nantinya KWF dihari pertama ini akan menampilkan 6 delegasi dan melibatkan sedikitnya 174 performer. Yakni Voca Erudita (Solo), Angklung Paglak (Banyuwangi), Golden Water (Solo), Hudog (Kaltim), Etno Esemble(Solo), Ully Sigar Rusady (Jakarta).
Festival ini akan berlangsung selama 5 hari berturut-turut mulai tanggal 4-8 Juli di eks Pabrik Gula peninggalan Mangkunegara IV itu.
Responses
Poskan Komentar