REAKTUALISASI SOLO KOTA KERONCONG
Dimuat dalam kolom wacana harian SUARA MERDEKA 4 Maret 2008
oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro
SOLO dikenal sebagai kota budaya. Sejalan dengan program Visit Indonesia Year 2008, kota ini harus mulai berbenah dan menyiapkan diri. Revitalisasi area budaya (Sriwedari dan Balekambang) dan pengadaan city walk (srawung warga) menjadi obsesi Pemkot Solo ke depan untuk menarik wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.
Sebelumnya, tanggal 9 September 2007, Wali Kota mencanangkan Solo sebagai kota keroncong. Pencanangan itu sebagai apresiasi terhadap pesan Gesang saat didera sakit. ’’Keroncong jangan sampai mati!’’.
Sesumbar sebagai kota keroncong tak lepas dari keberadaan sang legenda, Gesang, dengan karya agungnya Bengawan Solo. Juga banyaknya seniman keroncong semisal Waljinah si ’’Walang Kekek’’ yang sampai kini masih mengharubirukan warna musik keroncong di Tanah Air. Namun sudah satu semeseter berjalan, gaung sebagai kota keroncong belum begitu bergema.
Sejarah
Sebenarnya musik keroncong juga terdapat di berbagai wilayah Jawa. Tapi kalau Solo ’’merasa’’ yang memulai, maka segala kampanye selalu dilakukan melalui berbagai cara. Sosialisasi dengan segala bentuk aktualitas menjadikan pengakuan masyarakat nasional dan internasional menjadi kebutuhan.
Dalam sebuah literatur, sejarah keroncong dibawa masyarakat Malaysia ke Jawa sekitar abad 15, dan dikembangkan warga keturunan Portugis. Dimulai dari keroncong Tugu Jakarta yang sekarang juga masih tetap eksis.
Terlepas dari polemik ini, yang sekarang dibutuhkan adalah menumbuhkan sejak dini pada masyarakat, bahwa musik keroncong menjadi ruh seni musik Solo. Sebab dalam perkembangannya, di kota ini juga tumbuh subur ’’solo organ’’ dan musik ’’campur sari’’ yang merupakan perpaduan musik langgam (gamelan) dan keroncong.
Sebut saja Didi Kempot, penyanyi campursari yang sangat lekat di telinga kita, terutama melalui lagu Stasiun Balapan. Akhirnya dalam berbagai pementasan seni di Solo, sering muncul kolaborasi antara keroncong, campursari, dan pagelaran wayang kulit.
Awalnya, musik keroncong di Tanah Air terdiri atas kenong, ketuk, kendang, gong, siter, dan rebab. Setelah bertemu alat musik lain seperti gamelan, perangkat musik keroncong pun ikut berubah.
Perangkat musik keroncong yang lengkap terdiri atas ukulele yang dimainkan secara timbal balik (beat dan counter beat), banyo, cello (dimainkan secara pizzicoto / dipetik), bas (contrabass), gitar sebagai siter, biola, flute, cak, cuk, dan seruling.
Keroncong dianggap khas, karena memiliki cengkok khusus seperti halnya musik dangdut (melayu). Maka ketika mendengar nada baru dialunkan saja, kita bisa menebak jenis musik ini. Karena membawakan lagu dalam musik keroncong harus berdasarkan pakem (aturan), dan tidak semua orang bisa membawakannya.
Membumikan
Untuk mengaktualisasi dan mengeneralisasi musik ini perlu sentuhan yang membumi. Sebuah latihan kontinyu dan pengenalan sejak dini menjadi kebutuhan. Jika musik ini tak membumi di masyarakat, akan sia-sialah pencanangan Solo sebagai kota keroncong, yang menjadi salah satu pilar kota budaya.
Upaya membumikan dan mengenalkan musik keroncong supaya tidak mati menjadi satu keharusan, sehingga akan tumbuh generasi baru. Saat ini banyak grup musik keroncong yang berkembang di masyarakat, baik secara mandiri atau tergabung dalam Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri).
Salah satu medan paling efektif dan tepat sasaran adalah menggali potensi di sekolah-sekolah, melalui pelajaran seni musik. Setidaknya siswa SD perlu diperkenalkan secara kontinyu.
Di SMP dan sederajatnya dibentuk kelompok musik keroncong, dan jenjang sesudahnya (SMA/sederajat) sudah mengarah ke profesionalitas.
Dua tahun lalu, di sekolah tempat penulis mengajar telah terbentuk kegiatan ekskul Orkes Keroncong. Awalnya memang sedikit peminatnya.
Tetapi banyaknya tawaran manggung saat pencanangan Solo sebagai kota Keroncong, HUT Ke-90 Gesang, dan peresmian city walk membuat ekskul ini makin banyak diminati.
Tinggal sekarang begaimana mengefektifkan waktu antara studi, latihan, dan manggung. Ekskul keroncong dapat menjadi sarana pengembangan SQ (Spiritual Quotient), EI (Emotional Quotient) dan Multiple Intelegences, sehingga dapat untuk bekal hidup di masa depan.
Ini sebuah harapan agar musik keroncong tetap hidup dan lestari di Kota Solo. Kemauan pelajar dalam mendalami musik keroncong perlu dukungan semua pihak. Diperlukan juga alokasi dana lewat APBD (bidang pendidikan / budaya, subbidang pelestarian budaya / seni) demi merealisasi program ini.
Setengah Hati
Sebuah pencanangan jangan hanya menjadi kebijakan setengah hati. Sebab sering dan menjadi kebiasaaan, semboyan obor-obor blarak masih menjadi stigma. Di awal deklarasi, aktivitas kegiatan selalu menjadi sorotan.
Tetapi saat dibutuh-kan pembinaan, kontinuitas perencanaan kegiatan, dan pengalokasian anggaran, dana sering mentok di tengah jalan karena pihak-pihak terkait saling lempar tanggung jawab.
Begitu pula pemanfaatan optimal ruang publik yang dimiliki Solo, dengan konser musik keroncong secara terjadwal, terutama bagi para pelajar atau kelompok orkes keroncong yang dimiliki sekolah.
Solo memiliki Taman Budaya Surakarta (TBS), Taman Sriwedari, Taman Curug, Taman Balekambang, komplek lapangan Kota Barat, Stadion Manahan, Monumen 45 Banjarsari, Taman Air Gilingan, dan kawasan city walk.
Berbagai bentuk penghargaan (award), kerja sama dengan perusahaan rekaman, dan promosi dengan departemen dan media massa perlu diilakukan untuk mendukung eksistensi kota keroncong.
Mari kita dukung Solo sebagai kota keroncong. Kalau perlu patenkan musik keroncong sebagai musik asli Indonesia. Jangan sampai khazanah budaya asli menjadi hak negara asing, seperti tempe (Jepang), serta batik, musik angklung, lagu Rasa Sayange danReog Ponorogo yang diklaim Malaysia.
Mumpung belum terlanjur, mari kita bersama mengaktualisasi dan mewujudnyatakan segala khazanah seni budaya asli Indonesia, termasuk keroncong! (32)
FX Triyas Hadi Prihantoro, pendamping ekskul keroncong SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta.